2.1 TEORI BELAJAR KOGNITIF
2.1.1 Teori Belajar
Kognitif
Istilah
kognitif sendiri walau banyak dipopulerkan oleh Piaget dengan teori
perkembangan kognitifnya, sebenarnya telah dikembangkan oleh Wilhelm Wundt
(Bapak Psikologi). Menurut Wundt kognitif adalah sebuah proses aktif dan
kreatif yang bertujuan membangun struktur melalui pengalaman-pengalaman.[1]
Teori
belajar kognitif lebih mementingkan proses belajar daripada hasil belajarnya.
Model belajar kognitif mengatakan bahwa tingkah laku seseorang ditentukan oleh
persepsi serta pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan
belajarnya. Belajar merupakan perubahan persepsi dan pemahaman yang tidak
selalu dapat terlihat sebagai tingkah laku yang nampak. Teori ini berpandangan
bahwa belajar merupakan suatu proses internal yang mencakup ingatan, retensi,
pengolahan informasi, emosi, dan aspek-aspek kejiwaan lainnya. Belajar
merupakan aktifitas yang melibatkan proses berfikir yang sangat kompleks.
Proses belajar terjadi antara lain mencakup pengaturan stimulus yang diterima
dan menyesuaikannya dengan struktur kognitif yang sudah dimiliki dan terbentuk
di dalam pikiran seseorang berdasarkan pemahaman dan pengalaman-pengalaman
sebelumnya.[2]
Berikut
ini beberapa pandangan ahli tentang teori kognitif :
1. Teori
Perkembangan Kognitif Jean Piaget
Piaget
adalah seorang tokoh psikologi kognitif yang besar pengaruhnya terhadap
perkembangan pemikiran para pakar kognitif lainnya. Menurut Piaget,
perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetik, yaitu suatu proses yang
didasarkan atas mekanisme biologis perkembangan sistem syaraf. Dengan makin
bertambahnya umur seseorang, maka makin komplekslah susunan sel syarafnya dan
makin meningkat pula kemampuannya. Ketika individu berkembang menuju kedewasaan,
akan mengalami adaptasi biologis dengan lingkungannya yang akan menyebabkan
adanya perubahan-perubahan kualitatif di dalam struktur kognitifnya. Piaget
tidak melihat perkembangan kognitif sebagai sesuatu yang dapat didefinisikan
secara kuantitatif. Ia menyimpulkan bahwa daya pikir atau kekuatan mental anak
berbeda usia akan berbeda pula secara kualitatif.[3]
Menurut
Piaget, setiap anak mengembangkan kemampuan berpikirnya menurut tahapan yang
teratur. Proses berfikir anak merupakan suatu aktivitas gradual, tahap demi
tahap dari fungsi intelektual, dari konkret menuju abstrak.[4]
Secara
garis besar skema yang digunakan anak untuk memahami dunianya dibagi dalam
empat periode utama atau tahapan-tahapan sebagai berikut[5] :
1) Tahap
Sensori Motor (berlangsung sejak lahir sampai sekitar usia 2 tahun).
Anak mulai memahami bahwa perilaku
tertentu menimbulkan akibat tertentu pula bagi dirinya. Kemampuan yang dimiliki
anak-anak antara lain :
a) Melihat
dirinya sendiri sebagai makhluk yang berbeda dengan objek di sekitarnya;
b) Suka
memperhatikan sesuatu lebih lama;
c) Mendefinisikan
sesuatu dengan memanipulasinya.
2) Tahap
Pra-Operasional (sekitar usia 2 – 7 tahun)
Saat ini kecenderungan anak untuk selalu
mengandalkan dirinya pada persepsinya tentang realitas sangatlah menonjol. Anak
pun mampu mengingat banyak hal tentang lingkungannya. Intelektual anak dibatasi
oleh egosentrisnya. Akibatnya sering terjadi kesalahan dalam memahami objek.
Berikut adalah karakteristiknya :
a) Dapat
mengklasifikasikan objek pada tingkat dasar secara tunggal dan mencolok
b) Tidak
mampu memusatkan perhatian kepada objek-objek yang berbeda.
c) Dapat
menyusun benda-benda secara berderet, tetapi tidak dapat menjelaskan perbedaan
antarderetan.
3) Tahap
Operasional Konkret (berlangsung sekitar 7 – 11 tahun)
Pikiran logis anak mulai berkembang.
Anak yang sudah mampu berpikir secara operasi konkret, juga sudah menguasai
pembelajaran penting, yaitu bahwa ciri yang ditangkap oleh pancaindera seperti
besar dan bentuk sesuatu, dapat saja berbeda tanpa harus mempengaruhi, misalnya
kuantitas objek yang bersangkutan. Anak seringkali dapat mengikuti logika atau
penalaran, tetapi jarang mengetahui jika membuat kesalahan. Sesungguhnya anak
telah dapat melakukan klasifikasi, pengelompokan dan pengaturan masalah
(ordering problems) tetapi ia belum sepenuhnya menyadari adanya prinsip-prinsip
yang terkandung di dalamnya.
4) Tahap
Operasional Formal (mulai usia 11 tahun dan seterusnya)
Sejak tahap ini anak sudah mampu
berfikir abstrak, yaitu berfikir mengenai ide, mereka sudah mampu memikirkan
beberapa alternatif pemecahan masalah. Mereka sudah dapat mengembangkan
hukum-hukum yang berlaku umum dan pertimbangan ilmiah. Mereka telah mampu
menyusun hipotesis serta membuat kaidah mengenai hal-hal yang bersifat abstrak.
Dengan kata lain, model berpikir ilmiah hipotetiko-deduktif
dan induktif sudah mulai dimiliki
anak, dengan kemampuan menarik kesimpulan, menafsirkan, dan mengembangkan
hipotesis. Sehingga pada tahap ini anak sudah dapat bekerja secara efektif dan
sistematis, secara proporsional, serta menarik generalisasi secara mendasar.
2. Teori
discovery learning dar Jerome S. Bruder
Menurut
Bruder seiring dengan terjadinya pertumbuhan kognitif, para pembelajar harus
melalui 3 tahapan pembelajaran. Tiga tahapan perkembangan intelektual itu
menurut Bruder meliputi :[6]
1) Enaktif
(enactive), seseorang belajar tentang
dunia melalui respon atau aksi-aksi terhadap suatu objek.
2) Ikonik
(iconic), pembelajaran terjadi
melalui penggunaan model-model dan gambar-gambar dan visualisasi verbal.
3) Simbolik,
siswa sudah mampu menggambarkan kapasitas berpikir dalam istilah-istilah yang
abstrak
2.1.2 Teori Belajar
Gestalt
Menurut
teori pembelajaran ini pengertian pembelajaran adalah usaha guru memberikan
materi pembelajaran sedimikian rupa, sehingga siswa lebih mudah mengorganisasikannya
menjadi suatu yang bermakna. Bantuan guru diperlukan untuk mengaktualkan
potensi mengorganisis yang terdapat pada diri siswa.[7]
Gestalt
berasal dari bahasa Jerman yang padanan artinya bentuk atau konfigurasi. Dalam
dunia Psikologi gestalt dimaknai sebagai kesatuan atau keseluruhan yang
bermakna (a unified or meaningful whole).
Pokok pandangan Gestalt adalah bahwa objek atau peristiwa tertentu akan
dipandang sebagai suatu keseluruhan yang terorganisasi. Peletak dasar teori
Gestalt adalah Marx Wertheimer yang meneliti tentang pengamatan terhadap apa
yang sering kita alami, tetapi bukan merupakan bagian dari sensasi kita yang
sederhana. Gagasan pokok dari teori Gestalt yaitu pengelompokkan (grouping). Pentingnya grouping
dijelaskan melalui hukum gestalt:[8]
1) Proximity, kedekatan,
objek yang berdekatan satu sama lain cenderung mengelompok;
2) Symmetry, simetri,
atau similarity, kesamaan, makin
mirip suatu objek makin cenderung mereka mengelompok.
3) Good
continuation, berkesinambungan, objek yang membentuk
garis sambung cenderung mengelompok.
Menurut
pandangan ahli teori Gestalt semua kegiatan belajar menggunakan pemahaman
tentang adanya hubungan-hubungan, terutama hubungan antara bagian terhadap
keseluruhan. Tingkat kejelasan dan kemaknaan terhadap apa yang diamati dalam
situasi belajar akan lebih meningkatkan kemampuan belajar seseorang daripada
melalui hukuman atau ganjaran.[9]
2.1.3 Teori Belajar
Konstruktif
Konstruktivisme
adalah sebuah filosofi pembelajaran yang dilandasi premis bahwa dengan
merefleksikan pengalaman, kita membangun, mengkonstruksi pengetahuan pemahaman
kita tentang dunia tempat kita hidup. Konstruktivisme melandasi pemikirannya
bahwa pengetahuan bukanlah sesuatu yang given
dari alam karena hasil kontak manusia dengan alam, tetapi pengetahuan
merupakan hasil konstruksi (bentukan) aktif manusia itu sendiri. Pengetahuan
bukanlah suatu tiruan dari kenyataan (realitas). Pengetahuan bukanlah gambaran
dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan selalu merupakan akibat dari suatu
konstruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang. Ia membentuk skema,
kategori, konsep dan struktur pengetahuan yang diperlukan untuk pengetahuan [10]
Menurut
para penganut konstruktif, pengetahuan dibina secara aktif oleh seseorang yang
berfikir. Seseorang tidak akan menyerap pengetahuan dengan pasif. Untuk
membangun suatu pengetahuan baru, peserta didik akan menyesuaikan informasi
baru atau pengalaman yang disampaikan guru dengan pengetahuan atau pengalaman
yang telah dimilikinya melalui berintekrasi sosial dengan peserta didik lain
atau dengan gurunya.[11]
Asumsi-asumsi
dasar dari konstruktivisme[12] :
1) Pengetahuan
dikonstruksikan melalui pengalaman
2) Belajar
adalah penafsiran personal tentang dunia nyata
3) Belajar
adalah sebuah proses aktif di mana makna dikembangkan berlandaskan pengalaman
4) Pertumbuhan
konseptual berasal dari negosiasi makan, saling berbagi tentang perspektif
ganda dan pengubahan representasi mental melalui pembelajaran kolaboratif
5) Belajar
dapat dilakukan dalam setting nyata, ujian dapat diintegrasikan dengan
tugas-tugas dan tidak merupakan aktivitas yang terpisah (penilaian autentik).
Dalam
hal ini, hakikat pembelajaran menurut teori Konstruktivisme adalah suatu proses
pembelajaran yang mengkondisikan siswa untuk melakukan proses aktif membangun
konsep baru, pengertian baru, dan pengetahuan baru berdasarkan data. Oleh
karena itu, proses pembelajaran harus dirancang dan dikelola sedemikian rupa
sehingga mampu mendorong siswa mengorganisasi pengalamannya menjadi pengetahuan
yang bermakna. Jadi, dalam konstruktivisme ini sangat penting peran siswa untuk
membangun constructive habits of mind. Agar siswa memiliki kebiasaan berpikir,
maka dibutuhkan kebebasan dan sikap belajar. Teori belajar yang mencerminkan
siswa memiliki kebebasan artinya siswa dapat memanfaatkan teknik belajar apa
pun asal tujuan belajar dapat tercapai.[13]
2.2 TEORI BELAJAR
PENGALAMAN/FUNGSIONAL
2.2.1 teori belajar Behaviorism
Teori Belajar Tingkah Laku (Behaviorik)
menekankan bahwa pembelajaran adalah usaha guru membentuk tingkah laku yang
diinginkan dengan menyediakan lingkungan (stimulus). Agar terjadi hubungan
stimulus dan respon (tingkah laku yang diinginkan) perlu latihan.[14]
Menurut
teori belajar behavioristik, belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai
akibat dari adanya interaksi antara stimulus dan respon. Dalam contoh di atas,
stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada siswa misalnya daftar
perkalian, alat peraga, pedoman kerja, atau cara-cara tertentu untuk membantu
belajar siswa, sedangkan respon adalah reaksi atau tanggapan siswa terhadap
stimulus yang diberikan guru tersebut. Oleh sebab itu, apa saja yang diberikan
guru (stimulus), dan apa saja yang dihasilkan siswa (respon), semuanya harus
dapat diamati dan dapat diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab
pengukuran merupakan suatu hal yang penting untuk melihat terjadi tidaknya
perubahan tingkah laku tersebut.[15]
Faktor
lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Penguatan adalah apa
saja yang dapat memperkuat timbulnya respon. Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu juga bila
penguatan dikurangi (negative
reinforcement) respon pun akan tetap dikuatkan. Misalnya, ketika peserta
didik diberi tugas oleh guru, ketika tugasnya ditambahkan maka ia akan semakin
giat belajarnya. Maka penambahan tugas tersebut merupakan penguatan positif (positive reinforcement) dalam belajar.
Bila tugas-tugas dikurangi dan pengurangan ini justru meningkatkan aktivitas
belajarnya, maka pengurangan tugas merupakan penguatan negatif (negative reinforcement) dalam belajar.
Jadi penguatan merupakan suatu bentuk stimulus yang penting diberikan
(ditambahkan) atau dihilangkan (dikurangi) untuk memungkinkan terjadinya
respons.[16]
2.2.2 Aliran
Koneksionisme (connectionism)
Menurut
Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Dari
definisi belajar tersebut maka menurut Thorndike perubahan tingkah laku akibat
dari kegiatan belajar itu dapat berwujud konkrit yaitu yang dapat diamati, dan
tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme
sangat mengutamakan pengukuran, namun ia tidak dapat menjelaskan bagaimana
mengukur tingkah laku-tingkah laku yang tidak dapat diamati. Namun demikian,
teorinya telah banyak memberikan pemikiran dan inspirasi kepada tokoh-tokoh
lain yang datang kemudian.[17]
2.2.3 Conditioning
Beberapa para
peneliti yang melakukan studi tentang belajar antara lain Ivan Pavlov, Edward
Lee Throndike, Guthrie, Burrhus Frederic Skinner, dan Hull.
1.
Ivan Pavlov
Akhir 1800-an, Ivan Pavlov, ahli fisika Rusia memelopori
munculnya proses kondisioning responden (respondent conditioning) atau
kondisioning klasik (clasical conditioning), karena itu disebut
kondisioning Ivan Pavlov.
a. Teori belajar
kondisioning klasik (classical conditioning)
Pavlov mengamati, jika daging
diletakkan dekat mulut anjing yang lapar anjing akan mengeluarkan air liur. Hal
ini terjadi karena daging telah menyebabkan rangsangan kepada anjing, sehingga
secara otomatis ia mengeluarkan air liur.
Daging tersebut dengan stimulus yang
tidak terkondisi (unconditioned stimulus). Dan karena saliva terjadi
karena otomatis pada dekat anjing tanpa latihan atau pengondisian, maka
keluarnya saliva pada anjing tersebut dinamakan sebagai respons yang tidak
dikondisikan (un response conditioning).
Menurut eksperimen Pavlov, jika stimulus netral akan
berubah menjadi stimulus yang terkondisikan (conditioning stimulus) dan
memiliki kekuatan yang sama untuk mengarahkan respons anjing seperti ketika
melihat anjing seperti ketika melihat daging.
b. Hukum-Hukum
Kondisional Klasik
Pavlov akhirnya menemukan beberapa hukum pengondisian,
yaitu pemerolehan (acquisition), pemadaman (extinction),
generalisasi (generalization), diskriminasi (discrimination), dan
kondisioning tandingan (Davidoff, 1981).
c. Penerapan
prinsip-prinsip kondisioning klasik dalam kelas
Berikut ini beberapa tips yang
ditawarkan oleh Woolfolk (1995) dalam menggunakan prinsip-prinsip kondisioning
klasik di kelas.
1. Memberikan suasana yang meyenangkan
ketika memberikan tugas-tugas belajar, misalnya:
a. menekankan pada kerja sama dan
kompetisi antar kelompok dari individu
b. membuat kegiatan membaca menjadi
menyenangkan dengan menciptakan ruang membaca (reading corner) yang
nyaman dan enak serta menarik, dan lain sebagainya.
2. Membantu siswa mengatasi secara
bebas dan sukses situasi- situasi yang mencemaskan atau menekan, misalnya:
a. mendorong siswa yang pemalu untuk
mengajarkan siswa lain cara memahami materi pelajaran;
b. membuat tahap jangka pendek untuk mencapai tujuan
jangka panjang,
c. jika siswa takut berbicara di
depan kelas, mintalah siswa untuk membacakan sebuah laporan di depan kelompok
kecil sambil duduk di tempat, kemudian berikutnya dengan berdiri. Setelah dia
terbiasa, kemudian mintalah dia untuk membaca laporan di depan seluruh murid di
kelas.
3. Membantu siswa untuk mengenal
perbedaan dan persamaan terhadap situasi- situasi sehingga mereka dapat
membedakan dan menggeneralisasikan secara tepat. Misalnya,dengan:
a. Meyakinkan siswa yang cemas ketika
menghadapi ujian masuk sekolah yang lebih tinggi tingkatannya atau perguruan
tinggi.
b. Menjelaskan bahwa lebih baik
menghindari hadiah yang berlebihan dari orang yang tidak dikenal, atau
menghindar tetapi aman dan dapat menerima
penghargaan
dari orang dewasa ketika orang tua ada .
usmantospdimpd.blogspot.com/.../makalah-teori-belajar-dan-pembelajaran
[1]
Prof. Dr. Suyono, M.pd., Drs. Hariyanto, M.S., Belajar Dan Pembelajaran. (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2011), hlm.
73
[2]
DR. C. Asri Budiningsih, Belajar Dan
Pembelajaran, (Jakarta : Rineka Cipta, 2012), hlm. 34
[3] Ibid. hlm.
35
[4] Prof. Dr. Suyono, M.pd., Drs.
Hariyanto, M.S., Belajar Dan
Pembelajaran. (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2011), hlm. 83
[5] Ibid. hlm.
83-85
[6] Ibid. hlm.
89
[7] http://penelitiantindakankelas.blogspot.com/2010/04/perspektif-pembelajaran-menurut-teori.html diakses
hari sabtu 23 maret 2013 pukul 12:39 WIB
[8]
Prof. Dr. Suyono, M.pd., Drs. Hariyanto, M.S., Belajar Dan Pembelajaran. (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2011), hlm.
79-80
[9]
Ibid
[11]
Ella Yulaelawati,
Kurikulum dan Pembelajaran; Filosofi Teori dan Aplikasi, (Bandung: Pakar Raya,
2004), h. 53.
[12] Prof.
Dr. Suyono, M.pd., Drs. Hariyanto, M.S., Belajar
Dan Pembelajaran. (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2011), hlm. 106
[13]
Sukardjo &
Ukim Komaruddin, Landasan Pendidikan; Konsep dan Aplikasinya, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2009), h. 55-56.
[14] http://penelitiantindakankelas.blogspot.com/2010/04/perspektif-pembelajaran-menurut-teori.html
diakses hari sabtu 23 maret 2013 pukul 12:39 WIB
[15] DR. C. Asri Budiningsih, Belajar Dan Pembelajaran, (Jakarta : Rineka Cipta, 2012), hlm. 20
[16]
Ibid. hlm. 20-21
[17]
Ibid. hlm. 21-22






