Kamis, 03 Oktober 2013

BELAJAR DAN PEMBELAJARAN


2.1 TEORI BELAJAR KOGNITIF
2.1.1 Teori Belajar Kognitif
Istilah kognitif sendiri walau banyak dipopulerkan oleh Piaget dengan teori perkembangan kognitifnya, sebenarnya telah dikembangkan oleh Wilhelm Wundt (Bapak Psikologi). Menurut Wundt kognitif adalah sebuah proses aktif dan kreatif yang bertujuan membangun struktur melalui pengalaman-pengalaman.[1]
Teori belajar kognitif lebih mementingkan proses belajar daripada hasil belajarnya. Model belajar kognitif mengatakan bahwa tingkah laku seseorang ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan belajarnya. Belajar merupakan perubahan persepsi dan pemahaman yang tidak selalu dapat terlihat sebagai tingkah laku yang nampak. Teori ini berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses internal yang mencakup ingatan, retensi, pengolahan informasi, emosi, dan aspek-aspek kejiwaan lainnya. Belajar merupakan aktifitas yang melibatkan proses berfikir yang sangat kompleks. Proses belajar terjadi antara lain mencakup pengaturan stimulus yang diterima dan menyesuaikannya dengan struktur kognitif yang sudah dimiliki dan terbentuk di dalam pikiran seseorang berdasarkan pemahaman dan pengalaman-pengalaman sebelumnya.[2]
Berikut ini beberapa pandangan ahli tentang teori kognitif :
1.      Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget
Piaget adalah seorang tokoh psikologi kognitif yang besar pengaruhnya terhadap perkembangan pemikiran para pakar kognitif lainnya. Menurut Piaget, perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetik, yaitu suatu proses yang didasarkan atas mekanisme biologis perkembangan sistem syaraf. Dengan makin bertambahnya umur seseorang, maka makin komplekslah susunan sel syarafnya dan makin meningkat pula kemampuannya. Ketika individu berkembang menuju kedewasaan, akan mengalami adaptasi biologis dengan lingkungannya yang akan menyebabkan adanya perubahan-perubahan kualitatif di dalam struktur kognitifnya. Piaget tidak melihat perkembangan kognitif sebagai sesuatu yang dapat didefinisikan secara kuantitatif. Ia menyimpulkan bahwa daya pikir atau kekuatan mental anak berbeda usia akan berbeda pula secara kualitatif.[3]
Menurut Piaget, setiap anak mengembangkan kemampuan berpikirnya menurut tahapan yang teratur. Proses berfikir anak merupakan suatu aktivitas gradual, tahap demi tahap dari fungsi intelektual, dari konkret menuju abstrak.[4]
Secara garis besar skema yang digunakan anak untuk memahami dunianya dibagi dalam empat periode utama atau tahapan-tahapan sebagai berikut[5] :
1)      Tahap Sensori Motor (berlangsung sejak lahir sampai sekitar usia 2 tahun).
Anak mulai memahami bahwa perilaku tertentu menimbulkan akibat tertentu pula bagi dirinya. Kemampuan yang dimiliki anak-anak antara lain :
a)      Melihat dirinya sendiri sebagai makhluk yang berbeda dengan objek di sekitarnya;
b)      Suka memperhatikan sesuatu lebih lama;
c)      Mendefinisikan sesuatu dengan memanipulasinya.
2)      Tahap Pra-Operasional (sekitar usia 2 – 7 tahun)
Saat ini kecenderungan anak untuk selalu mengandalkan dirinya pada persepsinya tentang realitas sangatlah menonjol. Anak pun mampu mengingat banyak hal tentang lingkungannya. Intelektual anak dibatasi oleh egosentrisnya. Akibatnya sering terjadi kesalahan dalam memahami objek. Berikut adalah karakteristiknya :
a)      Dapat mengklasifikasikan objek pada tingkat dasar secara tunggal dan mencolok
b)      Tidak mampu memusatkan perhatian kepada objek-objek yang berbeda.
c)      Dapat menyusun benda-benda secara berderet, tetapi tidak dapat menjelaskan perbedaan antarderetan.
3)      Tahap Operasional Konkret (berlangsung sekitar 7 – 11 tahun)
Pikiran logis anak mulai berkembang. Anak yang sudah mampu berpikir secara operasi konkret, juga sudah menguasai pembelajaran penting, yaitu bahwa ciri yang ditangkap oleh pancaindera seperti besar dan bentuk sesuatu, dapat saja berbeda tanpa harus mempengaruhi, misalnya kuantitas objek yang bersangkutan. Anak seringkali dapat mengikuti logika atau penalaran, tetapi jarang mengetahui jika membuat kesalahan. Sesungguhnya anak telah dapat melakukan klasifikasi, pengelompokan dan pengaturan masalah (ordering problems) tetapi ia belum sepenuhnya menyadari adanya prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya.
4)      Tahap Operasional Formal (mulai usia 11 tahun dan seterusnya)
Sejak tahap ini anak sudah mampu berfikir abstrak, yaitu berfikir mengenai ide, mereka sudah mampu memikirkan beberapa alternatif pemecahan masalah. Mereka sudah dapat mengembangkan hukum-hukum yang berlaku umum dan pertimbangan ilmiah. Mereka telah mampu menyusun hipotesis serta membuat kaidah mengenai hal-hal yang bersifat abstrak. Dengan kata lain, model berpikir ilmiah hipotetiko-deduktif dan induktif sudah mulai dimiliki anak, dengan kemampuan menarik kesimpulan, menafsirkan, dan mengembangkan hipotesis. Sehingga pada tahap ini anak sudah dapat bekerja secara efektif dan sistematis, secara proporsional, serta menarik generalisasi secara mendasar.
2.      Teori discovery learning dar Jerome S. Bruder
Menurut Bruder seiring dengan terjadinya pertumbuhan kognitif, para pembelajar harus melalui 3 tahapan pembelajaran. Tiga tahapan perkembangan intelektual itu menurut Bruder meliputi :[6]
1)      Enaktif (enactive), seseorang belajar tentang dunia melalui respon atau aksi-aksi terhadap suatu objek.
2)      Ikonik (iconic), pembelajaran terjadi melalui penggunaan model-model dan gambar-gambar dan visualisasi verbal.
3)      Simbolik, siswa sudah mampu menggambarkan kapasitas berpikir dalam istilah-istilah yang abstrak

2.1.2 Teori Belajar Gestalt
Menurut teori pembelajaran ini pengertian pembelajaran adalah usaha guru memberikan materi pembelajaran sedimikian rupa, sehingga siswa lebih mudah mengorganisasikannya menjadi suatu yang bermakna. Bantuan guru diperlukan untuk mengaktualkan potensi mengorganisis yang terdapat pada diri siswa.[7]
Gestalt berasal dari bahasa Jerman yang padanan artinya bentuk atau konfigurasi. Dalam dunia Psikologi gestalt dimaknai sebagai kesatuan atau keseluruhan yang bermakna (a unified or meaningful whole). Pokok pandangan Gestalt adalah bahwa objek atau peristiwa tertentu akan dipandang sebagai suatu keseluruhan yang terorganisasi. Peletak dasar teori Gestalt adalah Marx Wertheimer yang meneliti tentang pengamatan terhadap apa yang sering kita alami, tetapi bukan merupakan bagian dari sensasi kita yang sederhana. Gagasan pokok dari teori Gestalt yaitu pengelompokkan (grouping). Pentingnya grouping dijelaskan melalui hukum gestalt:[8]
1)      Proximity, kedekatan, objek yang berdekatan satu sama lain cenderung mengelompok;
2)      Symmetry, simetri, atau similarity, kesamaan, makin mirip suatu objek makin cenderung mereka mengelompok.
3)      Good continuation, berkesinambungan, objek yang membentuk garis sambung cenderung mengelompok.
Menurut pandangan ahli teori Gestalt semua kegiatan belajar menggunakan pemahaman tentang adanya hubungan-hubungan, terutama hubungan antara bagian terhadap keseluruhan. Tingkat kejelasan dan kemaknaan terhadap apa yang diamati dalam situasi belajar akan lebih meningkatkan kemampuan belajar seseorang daripada melalui hukuman atau ganjaran.[9]

2.1.3 Teori Belajar Konstruktif
Konstruktivisme adalah sebuah filosofi pembelajaran yang dilandasi premis bahwa dengan merefleksikan pengalaman, kita membangun, mengkonstruksi pengetahuan pemahaman kita tentang dunia tempat kita hidup. Konstruktivisme melandasi pemikirannya bahwa pengetahuan bukanlah sesuatu yang given dari alam karena hasil kontak manusia dengan alam, tetapi pengetahuan merupakan hasil konstruksi (bentukan) aktif manusia itu sendiri. Pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyataan (realitas). Pengetahuan bukanlah gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan selalu merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang. Ia membentuk skema, kategori, konsep dan struktur pengetahuan yang diperlukan untuk pengetahuan [10]
Menurut para penganut konstruktif, pengetahuan dibina secara aktif oleh seseorang yang berfikir. Seseorang tidak akan menyerap pengetahuan dengan pasif. Untuk membangun suatu pengetahuan baru, peserta didik akan menyesuaikan informasi baru atau pengalaman yang disampaikan guru dengan pengetahuan atau pengalaman yang telah dimilikinya melalui berintekrasi sosial dengan peserta didik lain atau dengan gurunya.[11]
Asumsi-asumsi dasar dari konstruktivisme[12] :
1)      Pengetahuan dikonstruksikan melalui pengalaman
2)      Belajar adalah penafsiran personal tentang dunia nyata
3)      Belajar adalah sebuah proses aktif di mana makna dikembangkan berlandaskan pengalaman
4)      Pertumbuhan konseptual berasal dari negosiasi makan, saling berbagi tentang perspektif ganda dan pengubahan representasi mental melalui pembelajaran kolaboratif
5)      Belajar dapat dilakukan dalam setting nyata, ujian dapat diintegrasikan dengan tugas-tugas dan tidak merupakan aktivitas yang terpisah (penilaian autentik).
Dalam hal ini, hakikat pembelajaran menurut teori Konstruktivisme adalah suatu proses pembelajaran yang mengkondisikan siswa untuk melakukan proses aktif membangun konsep baru, pengertian baru, dan pengetahuan baru berdasarkan data. Oleh karena itu, proses pembelajaran harus dirancang dan dikelola sedemikian rupa sehingga mampu mendorong siswa mengorganisasi pengalamannya menjadi pengetahuan yang bermakna. Jadi, dalam konstruktivisme ini sangat penting peran siswa untuk membangun constructive habits of mind. Agar siswa memiliki kebiasaan berpikir, maka dibutuhkan kebebasan dan sikap belajar. Teori belajar yang mencerminkan siswa memiliki kebebasan artinya siswa dapat memanfaatkan teknik belajar apa pun asal tujuan belajar dapat tercapai.[13]

2.2  TEORI BELAJAR PENGALAMAN/FUNGSIONAL
2.2.1 teori belajar Behaviorism
Teori Belajar Tingkah Laku (Behaviorik) menekankan bahwa pembelajaran adalah usaha guru membentuk tingkah laku yang diinginkan dengan menyediakan lingkungan (stimulus). Agar terjadi hubungan stimulus dan respon (tingkah laku yang diinginkan) perlu latihan.[14]
Menurut teori belajar behavioristik, belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya interaksi antara stimulus dan respon. Dalam contoh di atas, stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada siswa misalnya daftar perkalian, alat peraga, pedoman kerja, atau cara-cara tertentu untuk membantu belajar siswa, sedangkan respon adalah reaksi atau tanggapan siswa terhadap stimulus yang diberikan guru tersebut. Oleh sebab itu, apa saja yang diberikan guru (stimulus), dan apa saja yang dihasilkan siswa (respon), semuanya harus dapat diamati dan dapat diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal yang penting untuk melihat terjadi tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.[15]
Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Penguatan adalah apa saja yang dapat memperkuat timbulnya respon. Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu juga bila penguatan dikurangi (negative reinforcement) respon pun akan tetap dikuatkan. Misalnya, ketika peserta didik diberi tugas oleh guru, ketika tugasnya ditambahkan maka ia akan semakin giat belajarnya. Maka penambahan tugas tersebut merupakan penguatan positif (positive reinforcement) dalam belajar. Bila tugas-tugas dikurangi dan pengurangan ini justru meningkatkan aktivitas belajarnya, maka pengurangan tugas merupakan penguatan negatif (negative reinforcement) dalam belajar. Jadi penguatan merupakan suatu bentuk stimulus yang penting diberikan (ditambahkan) atau dihilangkan (dikurangi) untuk memungkinkan terjadinya respons.[16]
2.2.2 Aliran Koneksionisme (connectionism)
Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Dari definisi belajar tersebut maka menurut Thorndike perubahan tingkah laku akibat dari kegiatan belajar itu dapat berwujud konkrit yaitu yang dapat diamati, dan tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, namun ia tidak dapat menjelaskan bagaimana mengukur tingkah laku-tingkah laku yang tidak dapat diamati. Namun demikian, teorinya telah banyak memberikan pemikiran dan inspirasi kepada tokoh-tokoh lain yang datang kemudian.[17]
2.2.3 Conditioning
                Beberapa para peneliti yang melakukan studi tentang belajar antara lain Ivan Pavlov, Edward Lee Throndike, Guthrie, Burrhus Frederic Skinner, dan Hull.
1.      Ivan Pavlov
Akhir 1800-an, Ivan Pavlov, ahli fisika Rusia memelopori munculnya proses kondisioning responden (respondent conditioning) atau kondisioning klasik (clasical conditioning), karena itu disebut kondisioning Ivan Pavlov.
a. Teori belajar kondisioning klasik (classical conditioning)
Pavlov mengamati, jika daging diletakkan dekat mulut anjing yang lapar anjing akan mengeluarkan air liur. Hal ini terjadi karena daging telah menyebabkan rangsangan kepada anjing, sehingga secara otomatis ia mengeluarkan air liur.
Daging tersebut dengan stimulus yang tidak terkondisi (unconditioned stimulus). Dan karena saliva terjadi karena otomatis pada dekat anjing tanpa latihan atau pengondisian, maka keluarnya saliva pada anjing tersebut dinamakan sebagai respons yang tidak dikondisikan (un response conditioning).
Menurut eksperimen Pavlov, jika stimulus netral akan berubah menjadi stimulus yang terkondisikan (conditioning stimulus) dan memiliki kekuatan yang sama untuk mengarahkan respons anjing seperti ketika melihat anjing seperti ketika melihat daging.
b. Hukum-Hukum Kondisional Klasik

Pavlov akhirnya menemukan beberapa hukum pengondisian, yaitu pemerolehan (acquisition), pemadaman (extinction), generalisasi (generalization), diskriminasi (discrimination), dan kondisioning tandingan (Davidoff, 1981).

c. Penerapan prinsip-prinsip kondisioning klasik dalam kelas
Berikut ini beberapa tips yang ditawarkan oleh Woolfolk (1995) dalam menggunakan prinsip-prinsip kondisioning klasik di kelas.
1. Memberikan suasana yang meyenangkan ketika memberikan tugas-tugas belajar, misalnya:
a. menekankan pada kerja sama dan kompetisi antar kelompok dari individu
b. membuat kegiatan membaca menjadi menyenangkan dengan menciptakan ruang membaca (reading corner) yang nyaman dan enak serta menarik, dan lain sebagainya.
2. Membantu siswa mengatasi secara bebas dan sukses situasi- situasi yang mencemaskan atau menekan, misalnya:
a. mendorong siswa yang pemalu untuk mengajarkan siswa lain cara memahami materi pelajaran;
b. membuat tahap jangka pendek untuk mencapai tujuan jangka panjang,
c.   jika siswa takut berbicara di depan kelas, mintalah siswa untuk membacakan sebuah laporan di depan kelompok kecil sambil duduk di tempat, kemudian berikutnya dengan berdiri. Setelah dia terbiasa, kemudian mintalah dia untuk membaca laporan di depan seluruh murid di kelas.
3. Membantu siswa untuk mengenal perbedaan dan persamaan terhadap situasi-  situasi sehingga mereka dapat membedakan dan menggeneralisasikan secara tepat. Misalnya,dengan:
a. Meyakinkan siswa yang cemas ketika menghadapi ujian masuk sekolah yang lebih tinggi tingkatannya atau perguruan tinggi.
b. Menjelaskan bahwa lebih baik menghindari hadiah yang berlebihan dari orang yang tidak dikenal, atau menghindar tetapi aman dan dapat menerima
    penghargaan dari orang dewasa ketika orang tua ada .
usmantospdimpd.blogspot.com/.../makalah-teori-belajar-dan-pembelajaran


[1] Prof. Dr. Suyono, M.pd., Drs. Hariyanto, M.S., Belajar Dan Pembelajaran. (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2011), hlm. 73
[2] DR. C. Asri Budiningsih, Belajar Dan Pembelajaran, (Jakarta : Rineka Cipta, 2012), hlm. 34
[3] Ibid. hlm. 35
[4] Prof. Dr. Suyono, M.pd., Drs. Hariyanto, M.S., Belajar Dan Pembelajaran. (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2011), hlm. 83
[5] Ibid. hlm. 83-85
[6] Ibid. hlm. 89
[8] Prof. Dr. Suyono, M.pd., Drs. Hariyanto, M.S., Belajar Dan Pembelajaran. (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2011), hlm. 79-80
[9] Ibid
[10] Ibid. hlm. 105 – 106
[11] Ella Yulaelawati, Kurikulum dan Pembelajaran; Filosofi Teori dan Aplikasi, (Bandung: Pakar Raya, 2004), h. 53.
[12] Prof. Dr. Suyono, M.pd., Drs. Hariyanto, M.S., Belajar Dan Pembelajaran. (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2011), hlm. 106
[13] Sukardjo & Ukim Komaruddin, Landasan Pendidikan; Konsep dan Aplikasinya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), h. 55-56.
[15] DR. C. Asri Budiningsih, Belajar Dan Pembelajaran, (Jakarta : Rineka Cipta, 2012), hlm. 20
[16] Ibid. hlm. 20-21
[17] Ibid. hlm. 21-22

1 komentar:

  1. Kak boleh minta tolong foto in bukunya haryanto brlajar dan pembelajaran nya gk kak, trntang kondisi ideal pembelajaran dan konsep dasar mengajar makasih kak please email shafiradwilaila@gmail.com

    BalasHapus