Judul
: Penyebaran Islam Di Daerah
Galuh Sampai Dengan Abad Ke-17
Pengarang : APIPUDIN. 2010. BANDUNG
Penerbit : BADAN LITBANG DAN DIKLAT KEMENTERIAN AGAMA RI
Tebal
: 343 Halaman
Menurut cerita rakyat dan babad
didaerah ciamis terkenal adanya sebuah kerajaan bernama Galuh. Nama tersebut
sampai sekarang masih melekat pada nama sebuah desa bernama Bojong Galuh, letaknya
disebelah timur kota ciamis sekarang. Tempat itu lebih dikenal dengan nama Karangkamulian.
Penduduk setempat dan juga babad galuh menganggap bahwa karangkamulian adalah
bekas pusat kerajaan galuh. Yang artinya mengandung tempat mulia atau yang
dimuliakan. Karangkamulian merupakan sebuah tempat yang letaknya sangat baik,
yaitu tempat pertemuan dua buah sungai besar, sungan cimuntur dan sungan
citanduy. Dalam hubungan dengan kerajaan galuh ini carita parahiyangan
mengisahkannya sebagai salah satu kerajaan tertua di daerah ini. Diman cerita
parahiyangan melukiskan tentan keruntuhan kerajaan pajajaran sebagai akibat
serangan islam yang mulai menyebar dan berkembang di jawa barat. Asal mula
kerajaan galuh, naskah pangeran wangsakerta mengungkapkan bahwa ada sang
resiguru Manikmaya yang datang dari jawa timur. Negeri asalnya adalah india
dari keluarga Calankayana. Dia telah mengunjungi beberapa negara seperti Gaudi
(Benggala), Mahasin (Singapura), Sumatera, Nusa Sapi (Ghohnusa) yaitu pulau
bali, syangka, yawana, china, dan lain-lain. Setelah menikah dengan Dewi
Tirtakancana, puteri Maharaja Suryawarman, penguasa Tarumanegara, sang Resiguru
Manikmaya dihadiahi daerah kendan lengkap dengan rakyat dan tentaranya.
Kemudian dia Kemudian dia dinobatkan menjadi Rajaresi di daerah kendan. Toko
Resiguru dalam cerita parahiyangan itu adalah menantu Sri Maharaja Suryawarman,
penguasa Tarumanegara ketujuh. Kisah sang Rajaresiguru Manikmaya, Raja Kendan
memperoleh keturunan beberapa putera dan puteri. Salah seorang diantaranya
bernama Rajaputra Suraliman. Pada usia 20 tahun sang Suraliman diangkat menjadi
Senapati dan kemudian diangkat menjadi panglima bala tentara Tarumanegara, oleh
kakeknya. Setelah Rajaresiguru kendan wafat sang Suraliman diangkat menjadi
Raja di Kendan sebagai penguasa baru.
Dari perkawinannya dengan Puteri
Bakulapura (Kutai) keturunan keluarga kudungga yang bernama Dewi Mutyasari,
sang Suraliman mempunyai seorang putera dan seorang puteri. Yang sulung bernama
Sang Kandiawan, disebut juga Sang Rajaresi Dewaraja atau Sang Layuwatang. Adik
Sang Kandiawan, Sang Kandiawati menikah dengan seorang saudagar dari pulau
sumatera dan tinggal dinegeri suaminya. Sang Suralliman menjadi Raja Kendan
selama 29 tahun ia mempunyai orang anak
yaitu: Sang Mangkuhan, Sang Karungkalah, Sang Katungmaralah, Sang Sandangreba,
dan sang Wretikandayun. Dia menjadi raja Kendan hanya 25 tahun setelah Sang
Kandiawan mengundurkan diri dari tahta kerajaan, lalu dia menjadi petapa
dilayang watang daerah kuningan. Sebagai gantinya yaitu Sang Wretikandayun yang
waktu itu sudah menjadi Rajaresi di menir.
Sang Wretikandayun menggantikan kedudukan ayahnya pada tanggal 14 terang
bulan Caitra tahun 534 saka (23 maret 612 masehi). Sang Wretikandayun
memindahkan pusat pemerintahannya ke satu tempat yang diberi nama Galuh
(permata), yang berada dilahan yang diapit oleh sungai Cimuntur dan Citanduy
yang dikenal sebagai desa Karang Kamulyan, kecamatan Cijeungjing, kabupaten
Ciamis. Sebagai Rajaresi Sang Wretikandayun memilih permaisuri seorng puteri
pendeta Resi Makandria yang bernama Manawati. Sebagai permaisuri Manawati
dinobatkan dengan nama geSebagai permaisuri Manawati dinobatkan dengan nama
gelar Candraresmi. Dari perkawinannya Manawati Sang Wretikandayun memperolehh
tiga orang anak yaitu Sang Sempakwaja. Sang Jantaka, dan Sang Amara. Sang
Wretikandayun secara berturut-turut menjadi Raja daerah Kendan, dibawah
kekuasaan Sang Sudawarman, Sang Dewamurti, Sang Nagajayawarman, dan sang
Linggawarman. Tahun 669 Masehi, Sang Maharaja Linggawarman wafat, dan
digantikan oleh menantunya Maharaja Tarusbawa dengan gelar Sri Maharaja
Tarusbawa Darmawaskita Manumanggalajaya Sundasembawa. Pada saat penobatan berlangsung tanggal 9
bagian terang bulan jesta tahun 591 saka (18 mei 669 Masehi). Pamor
Tarumanegara sudah jauh menurun, sang Tarusbawa berupaya untuk mengembalikan
citra Tarumanegara seperti pada masa kebesaran Sang Maharaja Purnawarman, untuk
mengembalikan kejayaan Tarumanegara Sang Tarusbawa mengubah nam Tarumanegara
menjadi kerajaan sunda lalu tindakan selanjutnya Sang Tarusbawa memindahkan
ibukota kerajaan dari Sundapura (bekasi) ke pakuan (bogor). Disebuah Lemah
duwur (ketinggian), Sang Tarusbawa mendirikan lima buah keraton yang bernama
Bima, Punta, Narayana, Madura, dan Suradipati.
Peristiwa perubahan nama
Tarumanegara menjadi kerajaan Sunda itu dimanfaatkan oleh kerajaan Galuh
Wretikandayun untuk memerdekakan diri dari kekuasaan kerajaan Tarumanegara yang
sudah berganti nama. Sang Wretikandayun segera mengirimkan utusan ke ibu kota
kerajaan sunda, untuk penyampaiaan pesan khusus dari bahwa semua kerajaan yang
terletak disebelah timur Citarum tidak lagi tunduk dibawah kekuasaan kerajaan
Tarumanegara tetapi menjadi dibawah kekuasaan Galuh. Pada tahun 670 Masehi ,
Tarumanegara sebuah kerajaan besar Tarumanegara telah berakhir, sakaligus
mengakhiri kekuasaan Dinasti Warman. Sebagai penerusnya muncul dua kerajaan
baru yaitu disebelah barat citarum menjadi kerajaan sunda dan dikawasan sebelah
timurnya menjadi kerajaan Galuh.
Pada tahun 723 kerajaan sunda dan
kerajaan galuh disatukan, Sanjaya yang bertahta dipakuan pajajaran sampai tahun
732 sekaligus memerintah Galuh. Prasasti yang mencatat nama sanjaya adalah
prasasti Canggal berangka tahun 654 saka (732 Masehi). Dalam prasasti tersebut
diberitakan bahwa sanjaya membuat pemujaan untuk Dewa Siwa dengan mendirikan
sebuah Lingga diatas bukit Sthiragga yang berasal dari Kunjarakunjadesa. Agama
yang dianut kerajaan Galuh yaitu agama hindu aliran Siwa yang menganggap Siwa
sebagai Dewa terbesar disamping kedua dewa lainnya Brahma dan Wisnu. Dalam
naskah carita Parahiyangan diungkapkan bahwa Sanjaya adahubungannya dengan
Galuh karena Sena berkuasa di Galuh. Dimana terjadi perebutan kekuasaan yang
dilakukan oleh Rahiyang Purbasora sehingga sang Sena dibuang kegunung Merapi. Pada tahun 739 kerajaan sunda dan kerajaan
Galuh berpisah lagi karena adanya kemelut dalam istana, kerajaan galuh
diperintah oleh Manarah (739-783)sedangkan kerajaan sunda diperintah oleh
Kamarasa(739-759) tetapi status sunda dibawahan kerajaan Galuh. Oleh karena itu
Kamarasa memerintah kerajaan sunda sebagai Raja merdeka sejak 759 Masehi sampai
766.
Peristiwa kerajaan sunda dan Galuh
terjadi lagi setelah pemerintahan kerajaan Galuh Prabu Linggabumi (813-852).
Karena Prabu Linggabumi tidak mempunyai keturunan maka kerajaan Galuh
diwariskan pada suami adiknya yaitu Rakeyan Wuwus dari kerajaan Sunda lalu
sejak tahun 852 kerajaan Galuh dan kerajaan Sunda bersatu lagi. Pada tahun 1333
pusat kerajaan sunda dan galuh pindah ke Kawali, Ciamis kerajaan tersebut
terkenal dengan nama Galuh Pakuan yang menunjukkan gabungan Galuh dan kerajaan
Sunda yang berpusat di pakuan. Prabu Ajiguna Linggawisesa atau sang Lumahing
kiding adalah Raja kerajaan Galuh dikawali. Pemerintahan dilanjutkan oleh
putranya yaitu Prabu Ragamulya tahun 1333-1357. Pengganti Prabu Ragamulya
adalah Linggabuana , putranya yang setelah raja disebut Prabu Maharaja
Linggabuan dari tahun 1350-1357. Prabu Linggabuana mempunyai empat orang anak
yang sulung bernama Dyah Pitaloka, anak kedua dan ketiga meninggaldan anak keempat
laki-laki yang bernama Niskala Wastukencana. Beliau adalah salah satu tokoh
yang paling terkenal dikerajaan Galuh, kekuasaanya membawahi kerajaan Galuh dan
kerajaan Sunda pada masa itu pemerintahan berpusat di keraton Surawisesa,
Kawali Ciamis.
Keharmonisan hubungan antara
kerajaan sunda dengan kerajan Galuh yang diwariskan oleh Mahaprabu Niskala
Watukancana terusik dengan datangnya rombongan pengungsi dari Majapahit yang
dipimpin oleh Rahadiyan Baribin berhasil mencapai wilayah Galuh dan tiba di ibukota
Kawali.
Para raja dan masyarakat kerajaan
Galuh sebelum kedatangan islam adalah Pemeluk agama Hindu. Diantara bukti untuk
hal tersebut adalah ditemukannya situs-situs purbakala yang merupakan tempat
suci atau tempat peribadatan penganut agama hindu. Salah satu peninggalan
tersebbut adalah Candi Cangkuang di desa Cangkuang. Didesa sukajaya, pamarican
ciamis terdapat sebuah candi yang disebut Candi Ronggeng. Dilingkungan kompleks
yang terbagi dalam beberapa halaman yang bertingkat ini terdapat enam prasasti
batu, prasasti-prasasti tersebut ditemukan pada halaman teringgi dan relatif
berada dipusat kompleks. Prasasti Kawali
menyebutkan bahwa toko raja yang berkedudukan dikadatuan Surawisesa yang
bernama Prabu Raja Wastu yang memerintah kerajaan dalam keadaan aman sejahtera
dan dalam waktu kurun yang cukup lama. Peninggalan lainnya adalah situs Eyang
Depok didesa Banjarharja, kalipucang, ciamis, yang berupa lahan bertingkat
dengan struktur bangunan dari tumpukan batu bekas reruntuhan sebuah candi. Semuanya
adalah tempat peribadatan masyarakat yag memeluk agama Hindu.
Peninggalan-peninggalan diatas merupakan sarana peribadatan bagi pemujaan para
dewata yang bernafaskan Hindu-Saiva dan sekaligus memuja Hyang.
Pada masa
kerajaan Galuh terdapat empat jenis tempat yang disucikan oleh masyarakat sunda
kuna yaitu dewa Sasana, Kawikuan, Kabuyutan, dan Pertapaan. Dewa sasana adalah tempat yang
dikeramatkan karena dipercaya sebagai tempat persemayaman para dewa yang
didalamnya terdapat pula bangunan suci untuk pemujaan dewa. Kawikuan adalah
tempat bermukimnya para Wiku yang berarti pendeta yang merupakan bentuk
pemukiman khusus yang relatif luas oleh karena itu disebut lurah kawikuan. Kabuyutan
adalah suatu tempat suci yang dikeramatkan dan dijadikan pusaka masyarakat.
Adapun pertapaan adalah tempat orang-orang melakukakan tapa atau semedi.
Kepercayaan masyarakat galuh juga dapat dibaca dan di telaah lewat
naskah-naskah seperti Sewakadarma, Jatiniskala, Kawih Paningkes, dan Senghyang
Siksa Kandang Karesyan. Masyarakat sunda sebelum islam ternyata telah memiliki
suatu taraf kehidupan sosial, ekonomi, Keruhanian dan kebudayaan yang cukup
tinggi.
Jadi pergeseran agama orang sunda
sudah dimulai sejak masa pemerintahan Sanjaya (723-732). Sanjaya menganjurkan
agar anaknya beralih agama karena dengan agama yang dianutnya ketika itu,
Sanjaya hanya menyebabkan orang menjadi takut. Sejak itu kedua gama itu
bersama-sama berkembang dan saling melengkapi serta saling isi bagian-bagian
yang mungkin dirasakan sebagai kekurangan.
Dengan keadaan demikian maka tidaklah mengherankan jika pada awal abad
ke 18 ajaran agama yang dianut orang sunda tergambar bagaimana dicatat oleh
Sanghayang Siksa Kandang Karesyan. Bahkan dalam abad ke 18 masih memperlihatkan
bahwa hingga saat itu agama Islam belum sepenuhnya dianut oleh orang Sunda.
Carita Ratu Pakuan yang dituliskan pada tahun 1740 isinya sama sekali terbebas
dari pengaruh Islam, padahal ketika itu Islam boleh dikatakan sudah menjadi
“agama Negara” diberbagai kesultanan dijawa (Banten, Cirebon, Mataram). Rupanya
hingga abad ke 18 itu masih ada daerah-daerah terpencil yang belum terjamah
oleh agama Islam, antara lain daerah gunung Gupu tempat Aki Raga menuliskan
Carita Ratu Pakuan.
PROSES
ISLAMISASI
Proses perluasan Islam di Jawa Barat lebih banyak dikisahkan melalui gerbang
Jawa Barat yakni Cirebon. Proses ini menjadi mungkin Karena kondisi kekuasaan
politik yang kuat waktu itu di Jawa adalah Jawa Tengah. Tetapi islamisasi di
Indonesia melaui pintu barat. Oleh Karena itu mempunyai kemungkinan besar bila
masuknya Islam dari pintu gerbang barat.
Perlu ditambahkan disini bahwa penyebaran
Islam melalui jalur perniagaan, sehingga tidak pernah terjadi agresi militer
ataupun agama. Dalam penyebaran ini Islam tidak mengenal adanya organisasi
missi ataupun semacam zending. J.C. van leur dalam hal ini menjelaskan bahwa
setiap pedagang islam merangkap sebagai da’i. Itulah sebabnya masuk dan
meluasnya Islam di Indonesia melalui jalur perniagaan.
Pada
abad ke-13 dan abad ke-14M, kegiatan perdagangan pada jalur pelayaran tersebut
cukup ramai. Para pedagang muslim mengunjungi pelabuhan yang terdapat di
pesisir utara pulau jawa antara lain banten, kalapa, indramayu (cimanuk),
Cirebon, tuban, gresik, dan jepara. Pada abad ke-14
tidaklah berarti islam baru masuk, melainkan telah meluas di Jawa Barat. Proses
perluasan ini diawali dengan masuknya sejak abad ke-7.
Sebagian
daerah galuh berada pada lintasan pelayaran niaga. Ditinjau dari letak
geografisnya itu, daerah Cirebon adalah daerah yang lebih dahulu mendapat
sentuhan agama islam daripada daerah yang ada di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Pada
perempat pertama abad ke-15 M, Pelabuhan Muhara Jati dan pasar Pasambangan
sering disinggahi oleh para pedagang dari berbagai negeri atau daerah seperti
Parsi, Arab, India, Pasai, dan lain-lain. Sebagian besar dari mereka adalah
saudagar muslim. Sebagai muslim, para saudagar itu akan berusaha memperkenalkan
agama Islam kepada orang-orang di daerah setempat yang belum masuk islam.
Pada mulanya Islam disebarkan di Pantai Utara Jawa melalui kontak dagang,
kemudian di sana disebarkan ke pedalaman. Dengan kontak itu pula keuntungan
ekonomi mengalir dari perniagaan yang dikuasai orang-orang islam. Memang
keuntungan besar dari perdagangan sangat tergantung dengan adanya kontak dagang
dengan luar negeri yang pada waktu itu terletak pada jaringan perdagangan
dengan orang-orang islam.
Masuk dan berkembangnya islam di daerah galuh semakin kuat, setelah Syarif
Hidayat datang di Cirebon dan menjadi penyebar agama Islam. Kedatangan Syarif
Hidayat ini menyebabkan agam Islam tidak hanya menyebar di daerah Cirebon,
tetapi masuk ke pedalaman Galuh dan jawa barat.
Pertimbangan lain dari keterangan Tome Pires yang menjelaskan keadaan Jawa barat
pada abad ke-16. Bahwa pada 1513 penduduk Cirebon dan cimanuk (Indramayu) sudah
beragama Islam.
Keterangan
Tome Pires memberikan ilustrasi kepada kita tentang peranan Jawa Barat dalam
jaringan perniagaan di Asia Tenggara umumnya dan Indonesia khususnya. Tidak
saja sebagai wilayah yang penting, tetapi juga ikut menentukan rute dan
persinggahan kapal dagang. Sekaligus memberikan informasi tentang meluasnya
Islam di Jawa barat pada saat itu.
Penyebaran agama Islam pada tahap awal dilakukan pula oleh dua orang guru agama
islam yang datang di daerah Jawa Barat. Naskah Carita Purwaka Caruban Nagari
menyebutkan adanya dua orang guru agama islam yaitu Syekh Quro di
Karawang dan Syekh Nurjati di Amparan Jati (daerah Gunung Jati
sekarang). Menurut naskah tersebut, Syekh Quro adalah Syekh Hasanuddin, putera
Syekh Yusuf Sidiq seorang ulama terkenal dari negeri Campa. Seorang murid Syekh
Quro adalah Nyai Subanglarang, puteri Ki Jumamjanjati (Ki Gede Tapa), penguasa
pelabuhan Muhara Jati pengganti Ki Gedeng Sindangkasih. Atas kebaikan Ki
Jumajanjati, Syekh Hasanuddin mendirikian pondok pesantren di Karawang. Dalam
naskah itu, Syekh Nurjati disebut pula Syekh Datuk Kahpi atau Syekh Idhopi.
Salah seorang muridnya ialah Walangsungsang, putera Nyai Subanglarang dari Raja
Sunda, Prabu Siliwangi. Walangsungsang inilah yang menjadi perintis pembangunan
kota Cirebon pada sekitar 1455M.
Syekh Quro dan Syekh Nurjati membangun pesantren di daerah pemukimannya
masing-masing. Munculnya pesantren berarti adanya perkembangan dalam penyebaran
agama islam. Penyebaran agama islam yang semulanya berlangsung dari individu ke
individu, kemudian berkembang menjadi satu lembaga, yaitu pesantren. Dengan
kata lain berdirinya pesantren berarti terjadinya pembentukan kader penyebar
agama islam. Santri-santri yang telah memahami ajaran islam kemudian menyebaran
ajaran itu di lingkungan tempat tinggal masing-masing atau kedaerah lain atas
perintah gurunya.
Carita Puraka Caruban Nagari juga menyebutkan tentang kegiatan perniagaan di
pantai Cirebon sebelum tahun 1470M. Naskah itu mencerikan, bahwa sebelum tempat
yang sekarang menjadi Cirebon dihuni orang, tidak jauh di sebelah utara tempat
itu terdapat kehidupan masyarakat. Masyarakat inilah cikal bakal penduduk
Cirebon. Di sana terdapat empat kegiatan perdagangan yaitu Pelabuhan Muhara
Jati dan pasar Pasembangan. Di sebelah utaranya terdapat daerah yang bernama
Singapura, dan disebelah Timur adalah Jayapura. Di sebelah selatan bagian
pedalaman terletak Caruban Girang. Kiranya masyarakat di tempat-tempat itulah
yang diislamkan oleh Haji Purwa dan Syekh Nurjati bersama santrinya.
Penyebaran agama islam di Cirebon, khususnya di Cirebon Pantai (Caruban Hilir),
berkaitan erat dengan peranan pelabuhan Muhara Jati dengan Pasar Pasembangan.
Kedatangan saudagar-saudagar muslim di pelabuhan Muhara Jati dan Pasar
Pasembangan, memungkinkan penduduk setempat berkenalan dengan agama Islam,
lebih-lebih bila para saudagar muslim itu singgah untuk waktu cukup lama,
menunggu saat yang baik untuk melanjutkan pelayarannya. Dalam kesempatan itu,
para saudagar muslim memperkenalkan agama mereka kepada penduduk yang belum
menganut agama islam.Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa, bahwa masuk dan
menyebarnya agama islam di daerah Cirebon terjadi pula melalui kontak niaga.
Salah
satu bukti yang menunjukkan ramainya kegiatan pelayaran di daerah pelabuhan
Muhara Jati ialah didirikannya mercusuar di bukit Amparan Jati, suatu tempat
tertinggi di dekat pelabuhan itu. Mercusuar ini dibangun pada tahun 1415M oleh
panglima Cina Wai Ping, dan Laksamana Te Ho beserta pengikut mereka. Pendiri
mercusuar itu adalah rombongan untusan Cina dari dinasti Ming pimpinan
Laksamana Cheng Ho yang sedang mengadakan muhibah ke negara-negara Asia
Tenggara. Orang-orang Cina yang datang ke negara-negara Asia Tenggara pada abad
ke-15 dan abad ke-16M banyak yang sudah menganut agama islam, Orang-orang Cina
Islam yang turut dalam rombongan Laksamana Cheng Ho antara lain Ma Huan dan Feh
Tsin.
Selama pembangunan mercusuar di bukit Amparan Jati mungkin terjadi kontak
antara orang-orang Cina dengan penduduk di daerah setempat, termasuk kontak
dalam masalah agama islam. Terjadinya kontak antara penduduk Cirebon dengan
orang-orang islam di berbagai negara, menyebabkan dalam perkembangannya
masyarakat islam Cirebon menyerap unsur-unsur budaya bangsa lain, baik yang
bercorak islam maupun budaya asing. Dengan kata lain, sifat heterogen
masyarakat Cirebon bukan hanya hal suku bangsa, tetapi juga dalam hal budaya
termasuk budaya Islam. Pada tahap selanjutnya, penyebaran dan pembentukan
kekuatan islam di daerah Cirebon semakin meningkat. Faktor utama yang
menyebabkannya adalah munculnya penguasa di daerah itu, yang sekaligus berperan
dalam penyebaran agama Islam.
Kahane menyatakan bahwa Islam menyebar secara bertahap melalui guru-guru agama
dan institusi sehingga menjadi agama mayoritas di Jawa. Difusi atau konversi
Islam di Indonesia dapat berjalan dengan lancar karena sejumlah factor.
Pertama, Islam datang di Jawa lebih dahulu dibanding Kristen dan para pedagang
muslim menancapkan kekuasaan ekonomi dan politiknya di sana. Kedua, Islam
dianggap sebagai agama yang mudah untuk dilaksanakan. Ketiga, Terdapat
kemiripan ajaran Islam dengan agama tradisional Jawa; sufi dan magis yang ada
di Islam pada saat itu sama dengan kepercayaan animis dan Hindu. Keempat, ada
kemungkinan hidup bersama (koeksistensi) anatara agama Jawa dan Islam. Kelima,
adanya kegunaan instrumental yaitu hubungan dagang, pembangunan, dan pertukaran
adalah alasan para pedagang untuk masuk islam. Kenam, Taktik penetrasi Islam
diantaranya alah para pedagang Arab menikah dengan wanita setempat dan
mengislamkan para pembantunya. Selanjutnya, para ulama datang untuk mendirikan
institusi islam yaitu mesjid dan pesantren. Ketujuh, Islam dijadikan alat untuk
melawan Kolonial Barat. Kedelapan, penyebaran Islam akibat kevakuman religi dan
budaya serta institusi karena kehancuran sentralisasi kerajaan, yaitu
kehancuran Sriwijaya pada abad ke-11 dan kehancuran Majapahit ada bad ke-16.
Islam mengkompromikan kepentingan para pedagang dan para pengusaha lokal. Oleh
karena itu, ada motivasi politik dan ekonomi di sana. Islam dengan sufinya
mengisi kevakuman kultural dan struktural sehingga diterima oleh koalisi
pedagang dan penguasa lokal yang ingin meningkatkan kekuatan ekonomi dan
politik mereka.
Penyebaran agama Islam di Cirebon Hilir lebih pesat daripada di Cirebon Girang
yang dipelopori oleh Haji Purwa, karena Islamisasi di Cirebon Hilir tidak hanya
dilakukan oleh Pangeran Cakrabuana, tetapi dilaksanakan pula oleh
saudagar-saudagar muslim yang singgah di pelabuhan Muhara Jati.
Sunan Gunung
Jati
Islamisasi
di daerah Galuh semakin meningkat setelah Syarif Hidayatullah datang ke Cirebon
pada tahun 1470M. Selain singggah di Pasai setelah tiba di Indonesia, Sunan
Gunung Jati datang ke Banten. Di sini dilihatnya agama Islam telah bekembang
sebagai hasil dari dakwah Sunan Ampel Surabaya. Sebelum datang ke Cirebon, dia
terlebih dahulu menemui Sunan Ampel di Ampeldenta (Gresik). Sunan Ampel selaku
guru besar agama Islam di Jawa dan pimpinan para wali, menugaskan Syarif
Hidayat untuk menyebarkan agama islam diseluruh wilayah Jawa bagian barat dan
berkedudukan di bukit Amparan Jati, Cirebon. Di sana dia mendirikan pesantren.
Sebagai guru agama, dia bergelah Syekh Maulana Jati (Syekh Jati), dan sebagai
wali yang kesembilan dia bergelar Sunan Gunung Jati.
Adapun gelar Susuhunan Jati diperoleh setelah
9 tahun kemudian ketika diangkat sebagai Tumenggung di Cirebon. Selain itu
Sunan Gunung Jati juga disebut sebagai raja pendeta yang pengertiannya sama
dengan khalifah. Jabatan ini dipegangnya selama 47 tahun, dan kemudian
diserahkan kepada putranya yakni Pangeran Pasarean (1526).
Setelah
penyerahan kekuasaan kepada putranya, Sunan Gunung Jati mengadakan aktivitas
dakwah di Jawa Barat. Hasil dakwah dapat kita lihat dari hasil penyerangan
pendudukan sunda kelapa yang gemilang, sehingga memudakan untuk mematahkan
usaha penjajahan Portugis adan penyebaran agamanya. Tugas penyebaran Islam di
Jawa barat ini masih dapat diteruskan hingga akhir hayatnya pada 1568, dan
dimakamkan di Pasir Jati Bukit Sembung, Cirebon. Makam ini sampai sekarang
dapat kita lihat sebagai makam Sunan Gunung Jati.
Setelah selesai
menuntut ilmu pada tahun 1470M. Dia berangkat ke tanah Jawa untuk mengamalkan
ilmunya. Di sana beliau bersama ibunya disambut gembira oleh Pangeran Cakra
Buana. Syarifah Mudain minta agar diizinkan tinggal di Pasumbangan Gunung Jati
dan disana mereka membangun pesantren untuk meneruskan usahanya Syekh Datuk
Latif gurunya pangeran Cakra Buana. Oleh karena itu Syarif Hidayatullah
dipanggil Sunan Gunung Jati. Lalu ia dikawinkan dengan putri Cakra Buana pada
tahun 1479M dengan diangkatnya dia sebagai pangeran dakwah Islam dilakukannya
melalui diplomasi dengan kerajaan lain.
Sunan Gunung Jati berhasil melaksanakan tugas dan kewajibannya mengislamkan
masyarakat Galuh dan Jawa bagian barat dengan gemilang. Keberhasilan Sunan
Gunung Jati tidak terlepas dari sifat dan sikap serta tindakannya yang syarat
dengan kepemimpinan tradisional, khususnya kepemimpinan dalam keagamaan. Dia
adalah figure manusia ideal dalam ukuran zamannya.
Kurang lebih dua tahun setelah memegang pemerintahan daerah Cirebon (1481/1482),
Syarif Hidayatullah (Susuhunan Jati) mengislamkan daerah Luragung dan Kuningan.
Penyebaran agama islam di Kuningan menunjukkan perkembangan yang meningkat.
Upaya penyebaran agama islam dilanjutkan oleh para pengusa dan para ulama lokal
Kuningan. Hal ini seperti ditunjukkan oleh keberadaan tokoh ulama yang bernama
Haji Hasan Maulani dan desa Lengkong Kuningan. Beliau dikenal pula dengan
sebutan Eyang Hasan Maulani atau Eyang Hasan Menado karena meninggla di Menado.
Beliau dianggap sebagai salah satu tokoh ulama yang menurunkan ulama-ulama
lainnya di Kuningan.
Dari
Cirebon, Sunan Gunung Jati, mengembangkan Islam ke daerah-daerah lain di Jawa
Barat seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa dan Banten.
Setelah Gunung Jati wafat, ia digantikan oleh cicitnya yang terkenal dengan
gelar Pangeran Ratu atau Panembahan Ratu. Panembahan Ratu wafat pada
tahun 1650, dan digantikan oleh putranya yang bergelar Panembahan Gerilaya.
Keutuhan Cirebon sebagai satu kerajaan hanya sampai masa kekuasaan pangeran
Gerilaya ini. Sepeninggal Gerilaya, sesuai dengan kehendaknya sendiri, Cirebon
diperintah oleh kedua putranya, Martawijaya atau Panembahan Sepuh dan
Kartawijaya atau Panembahan Anom. Panembahan Sepuh memimpin Kesultanan
Kesepuhan sebagai rajanya yang pertama dengan gelar Syamsuddin sementara
Panembahan Anom memimpin kesultanan Kanoman dengan gelar Badruddin.
PENYEBARAN
ISLAM DI SUMEDANG
KERAJAAN
SUMEDANG SEBELUM ISLAM
Masyarakat
Sumedang, sebelum Islam, mempercayai Agama Hindu-Budha. Disekitar Gunung
Tampomas, daerah Cilangkap dua buah ditemukan sebuah area Ganesha. Ganesha
ialah putra dewa Siwa. Dewa Siwa banyak dipuja sebagai dewa tertinggi dan
dipuja dalam berbagai fungsi. Masa Hindu dan Budha berakhir setelah Pangeran
Santri menikah dengan Nyi Mas Ratu Pucuk Umun Sumedang dan mengislamkan para
pemangku kerajaan sumedanglarang. Islam masuk ke Sumedang secara kenegaraan dan
secara politik kurang lebih pada abad ke-15.
KERAJAAN
SUMEDANG ISLAM
Dalam
tradisi Sumedang menyatakan bahwa pelopor penyebaran agama Islam di
Sumedanglarang adalah Maulana Muhammad atau Pangeran Palakaran. Pada
tahun 1504, Pangeran Pakalaran menikah dengan seorang puteri Sindangkasih. Dari
perkawinan tersebut lahir Ki Gedeng Sumedan atau dikenal dengan nama Pangeran
Santri pada tahun 1505. Pangeran Santri menukah dengan Ratu Satyasih, putrid
Sunan Corenda yang meneruskan ayahnya menjadi penguasa Sumedanglarang karena
Styasih menyerahkan tampuk kekuasaan kepadanya. Pangeran Santri kemudian
dinobatkan sebagai penguasa Sumedanglarang pada tanggal 21 Oktober 1530. Dia
adalah penguasa Sumedanglarang pertama yang menganut agama Islam, dengan status
bawahan Cirebon. Pangeran Santri wafat pada tanggal 2 Oktober 1579 dan
dimakamkan di Dayeuh Luhur.
Pangeran
Santri dan Ratu Pucuk Umun
Daerah pesisir Cirebon merupakan pusat dari kegiatan-kegiatan ekonomi
perdagangan yang berlangsung di Pelabuhan juga merupakan pusat penyebaran agama
dan kekuasaan Islam. Pada abad ke-16, di Kerajaan Sumedanglarang sudah mulai
memasuki sistem pemerintahan yang bercorak Islam. Pemerintahan Islam dimulai
sejak Pangeran Santri menikah dengan Satyasih yang bergelar Ratu Pucuk Umun.
Dari Cirebon Islam tersebar ke daerah pedalaman, termasuk Sumedang yang menjadi
jalur lalu lintas antara Cirebon-Bandung. Pada pertengahan abad abad ke-16,
agam Islam sudah mewarnai perkembangan Sumedanglarang. Salah satu keturunan
Raja Sumedanglarang yang telah masuk Islam pada waktu itu adalah Ratu Pucuk
Umun. Dia menikah dengan Pangeran Santri yang bergelar Ki Gedeng Sumedang
(1505-1579M). Disamping menjadi penguasa Sumedanglarang, dia bersama istrinya
Ratu Pucuk Umun menyebarkan ajaran Islam. Pengganti Pangeran Santri adalah
Pangeran Angkawijaya, anak Pangeran Santri dari Ratu Satyasih yang dilahirkan
pada tahun 1558. Setelah berusia 23 tahun, dia dinobatkan menjadi raja pada
tanggal 18 November 1580, dengan gelar Ulun Sumedanglarang.
PENYEBARAN
ISLAM DI TASIKMALAYA
Penyebaran Islam ke daerah pedalaman dilakukan oleh para mubalig yang
mengabdikan seluruh hidupnya bagi tersyiarnya Islam dan mereka bermukim di
wilayah ini. Ternyata agama islam dapat diterima dengan relative mudah, cepat,
dan luas oleh masyarakat Sunda. Setelah dianut, agama islam itu tidak
dilepaskan lagi oleh umumnya orang Sunda hingga sekarang ini. Setelah agama
islam telah banyak dan lama diterima dan dianut oleh penduduk satu
tempat, maka untuk memenuhi keperluan pengetahuan ajaran agama, etika kehidupan
Islami, dan praktik peribadatan kaum Muslimin setempat, terutama kaum anak-anak
dan orang mudanya, maka di tempat itu dibukalah lembaga pendidikan agama dalam
bentuk pesantren. Pesantren awal yang didirikan di Tatar Sunda adalah pesantren
Quro di Karawang dan pesantren Amparan, terletak sekitar 5km sebelah utara kota
Cirebon.
Walaupun bentuk dan isinya tidak diketahui dengan jelas, sumber tradisional
lokal mengungkapkannya dalam konteks Islami di Tatar Sunda sebelum kota
pelabuhan Cirebon terwujud. Adapun di daerah pedalaman pesantren yang pertama
didirikan adalah pesantren Pamijahan di Tasikmalaya Selatan yang didirikan oleh
Syekh Abdul Muhyi sekitar pada abad ke-17. Setelah itulah muncul
pesantren-pesantren d sejumlah tempat di Tatar Sunda hingga masa sekarang baik
yang berusia lama maupun yang umurnya sebentar.
Ada dua hal yang menarik dari profil pesantren di Tatar Galuh pada masa awal
Islamisasi sampai abad ke-19. Pertama, terdapat kemiripan pola dan karakter
antara pesantren dengan mandala/kebuyuran, Keduanya menempati lokasi tertentu
yang terpisah dari pergaulan masyarakat yang luas, pola hidup penghuninya
mandiri, otoritas guru dominan, dan penggunaan naskah sebagai sarana bahan
ajar. Contoh yang mencolok adalah pesantren di Pamijahan yang didirikan dan
dikelola Syekh Abdul Muhyi. Di samping lokasinya terpencil di daerah pedalaman,
pesantren ini juga dilengkapi dengan gua (Gua Saparwadi) sebagai prasarana
ibadah ibadah dan pendidikan layaknya sebuah pertapaan.
Sebelum masyarakat Pamijahan menganal Islam dan sebelum datangnya Syekh Abdul
Muhyi ke Pamijahan, kepercayaan masyarakat Pamijahan terhadap roh-roh gaib
nenek moyang, penyembah pohon, batu-batu besar dan benda-benda lainnya atau
yang disebut dengan animism dan dinamisme. Menurut sumber sejarah setempat,
bahwa kedatangan Syekh Abdul Muhyi ke Pamijahan juga mendesak penduduk setempat
yang memiliki ilmu Batara Karang yang bermarkas di dalam
gua Safarwadi.
Proses Islamisasi di Pamijahan berlangsung bertahun-tahun. Karena ketabahan
Syekh Abdul Muhyi, sedikit demi sedikit Islam dipeluk oleh berbagai kalangan.
Karena akhlak yang baik seperti dalam sikap yang santun, berbicara dengan ramah
dan dakwah dengan pendekatan persuasive, masyarakat menaruh simpatik kepadanya
dan selanjutnya dengan sukarela mengikuti ajaran Islam dan menjadi murid Syekh
Abdul Muhyi. Dalam menyebarkan ajaran agama Islam dia tidak memaksakan
kehendaknya terhadap masyarakat. Hal ini terlihat, bahwa tidak semua masyarakat
memeluk agama Islam secara spontan, walaupun pada akhirnya mereka harus pindah
dari daerah tersebut karena terdesak oleh tradisi dan tata cara kehidupan
Islam.
Metode dakwah Syekh Abdul Muhyi sama dengan yang dilakukan Wali Sanga. Oleh
karena itu Syekh Abdul Muhyi dianggap sebagai seorang wali oleh masyarakat Jawa
Barat. Bahkan tradisi setempat menyebutnya wali kesepuluh yang meneruskan
tradisi Wali Sanga.
Dalam berdakwah, Syekh Abdul Muhyi menghadapi kendala geografis dan cultural.
Untuk menghadapi kendala geografis, dia harus turun-naik gunung dalam
menyebarkan agama Islam dari satu kampong ke kampong yang lain mengingat letak
perkampungan daerah pegunungan. Priangan merupakan wilayah pegunungan dan
mempunyai hutan yang sangat lebat. Untuk menghadapi kendala cultural, dia harus
memodifikasi Islam sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat Pamijahan yang
sebelumnya sudah memeluk agama Hindu dan agama nenek moyang. Dalam menghadapi
kendala cultural ini, Syekh Haji Abdul Muhyi tidak hanya mendapat reaksi
positif dari masyarakat yang didatanginya, tetapi juga sekelompok masyarakat
yang menghalangi misinya.
PENYEBARAN
ISLAM DI CIAMIS
PANJALU
Menurut tradisi setempat, Prabu Sanghyang Borosngora adalah penyebar
Islam pertama di Panjalu. Dialah yang telah meletakkan dasar untuk
pengembangan agama Islam disana. Selanjutnya diteruskan oleh anak dan
keturunannya. Penyebaran Islam di Panjalu tergolong cepat karena didukung oleh
para mubaligh-mubaligh dari luar Panjalu. Menurut R.H Atong Tjakradinata,
sesepuh adat Panjalu, ajaran Islam dengan mudah diterima oleh masyarakat
Panjalu karena ajaran Islam mencakup persoalan ketuhanan, kehidupan manusia
dalam hubungannya dengan Tuhan, dengan sesame manusia, dan dengan alam.
Proses pengembangan Islam di desa Panjalu menurut bapak R.H Atong melalui empat
tahap. Pertama, tahap perkenalan agama Islam kepada penduduk setempat.
Tahap pertama ini tentu dimulai oleh Prabu Sanghyang Borosngora setelah berguru
ke Mekkah. Sejak itu, dia memperkenalkan ajaran Islam dengan mengajak orang
satu persatu. Kedua, tahap penyiaran Islam secara masal dan terbuka
kepada masyarakat. Setelah Prabu Borosngora mempunyai beberapa pengikut, beliau
mengadakan tabligh dan pertemuan-pertemuan untuk memperdalam dan memperluas
jangkauan dakwahnya. Ketiga, memperbesar pengaruh Islam kedalam berbagai
aspek kehidupan dan berupaya mengurangi pengaruh ajaran agama sebelumnya. Di
samping itu Prabu Borosngora memperlihatkan ilmu-ilmu yang bersumber dari Islam
yang dapat mempertunjukkan kesaktiannya. Keempat, membina dan
memperkokoh persatuan dan kesatuan masyarakat Islam.
KAWALI
Untuk memerintah Kawali, Sunan Gunung Jati
menempatkan Dalem Dungkut , anak raja Kuningan (Langlang buana). Pengangkata
Dalem Dungkut di Kawali menjadi permulaan masuknya Islam di daerah
Galuh-Kawali, Ciamis.
Pangeran Dungkut (1528-1575) diberi tugas oleh Kesultanan Cirebon untuk menjadi
penguasa di Galuh Kawali menggantikan Prabu Jayadiningrat . Pangeran Bangsit
(1575-1592) adalah putra pangeran Dungkut yang melanjutkan pemerintahan
menggantikan ayahnya serta meluaskan ajaran agama Islam di daerah Kawali.
Pangeran Mahadikusuma (1592-1643) adalah putera Pangeran Bangsit. Dia juga
salah satu ulama yang dipercaya Cirebon untuk menyebarkan agama Islam di
Kawali. Dari Kawali Islam kemudian menyebar ke daerah Ciamis lainnya.
KAWASEN
Penguasa Kawasen yang pertama kali membangun
Kawasen berasal dari Galuh Salawe (sekitar Cimaragas sekarang), menantu dari
Prabu Galuh Cipta Permana yang datang untuk menyebarkan Islam.
Tumenggung
Sutapura adalah penguasa di kadaleman Kawasen yang terkenal setelah ayahnya,
Dalem Kawasen. Kedaleman Kawasen pada awalnya merupakan wilayah yang berada di
bawah kekuasaan Kerajaan Galuh Garatengah. Raja Galuh Garatengah yang pertama
memeluk agama Islam adalah Prabu Cipta Permana yang menikah dengan Tanduran di
Anjung, yaitu puteri dari raja Kawali yang beragama Islam.
Pada
masa pemerintahan dipegang oleh Sutapura, kedaleman Kawasen semakin berkembang,
terutama dalam penyebaran agama islam. Selain itu, Sutapura juga terkenal gagah
berani, hal ini dapart dibuktikan degan keberhasilannya dalam mengalahkan
Dipati Ukur yang memberontak kepada Mataram. Dengan keberhasilan ini kemudian
Sutapura memperoleh gelar Tumenggung Sutanangga I. Penyebaran Islam yang
dilakukan oleh Tumenggung Sutanangga cukup berhasil, banyak penduduk yang
semula menganut agama Hindu kemudian memeluk Islam. Begitu pula dalam hal
perekonomian, penduduk Kawasen sebagian besar bermata pencaharian sebagai
petani, keberhasilan pertanian di wilayah Kawasen karena ditunjang oleh
daerahnya yang subur, serta cukup mendapatkan air sebagai penunjang utama
pertanian, sebab daerah ini berada di daerah dekat gunung dengan aliran sungai
yang tidak pernah kering. Penduduk Kawasen hidup rukun dan makmur, mereka
sangat menghormai pimpinannya yan arif dan bijaksana.
PERKEMBANGAN
ISLAM DI GARUT
Kean
Santang
Kean Santang adalah putra Prabu Siliwangi. Dia
terkenal gagah berani dan tidak ada seorang pun di Pulau Jawa yang dapat
menandinginya. Pada suatu hari, Kean Santang menghadap ayahnya, yaitu Prabu
Siliwangi untuk menyampaikan bahwa dia ingin melihat darahnya sendiri. Ayahnya
tertegun mendengar keinginan anaknya itu. Diceritakan ada seorang kakek datang
menghadap baginda dan mengatakan bahwa ada orang yang dapat memperlihatkan
darah anaknya yaitu Baginda Ali yang berada di Mekkah. Kean Santang ingin
mencari Baginda Ali ke mekkah dan setelah meminta izin ayahnya, Kean Santang
berangkat menuju Mekkah.
Diceritakan paginya, Baginda Ali beangkat ke Masjidilharam dengan membawa
tongkat. Diperjalanan dia bertemu dengan Kean Santang yang sedang mencari rumah
Ali. Kean Santang menjelaskan bahwa dia berasal dari Jawa dan maksud
kedatangannya adalah untuk mengajak Ali bertarung adu kekuatan. Baginda Ali
berjanji akan mempertemukannya di hadapan Rsulullah, lalu dia mengaja Kean
Santang untuk menemuinya. Dalam perjalanan, Baginda Ali teringat pada tongkat
yang tertancap di tanah tempat tadi itu. Lalu dia menyuruh Kean Santang
mengambilnya. Kean Santang mencoba mencabut tongkat yang ditancapkan tetapi
tidak berhasil. Baginda Ali mencabut tongkat sambil mengucapkankalimah sahadat
dan membaca salawat. Setelah mengetahui bahwa orang itu adalah Baginda Ali,
Kean Santang pun menyatakan takluk dan kemudian mau memeluk agama Islam serta
berganti nama menjadi Sunan Rahmat atau Sunan Bidayah. Nabi tetap member tugas
kepada Kean Santang agar mengislamkan penduduk pulau Jawa.
Kean Santang atau Sunan Rahmat mengislamkan rakyat yang ada di Batulayang,
Lebak Agung, Lebak Wangi, Curug Dogdog, Curug Sempur dan Padusunan. Adik Sunan
Rahmat diserahi daerah Curug Dogdog. Selanjutnya dia menyebarkan agama Islam di
Malasari, Timbangantenan, Dayeuh Pangadegan, Dayeuh Tambaja, Cilageni, Cikupa,
Sangkanluhur, Ciparay, Talaga, Cikaso, pagedeng, Dayeuh Manggung, Panggung,
Lebak jaya dan Karangtenang, Sukapunten, Kedunghalang, Malere, Singaparna,
Batununggal, Tawanggantungan, Cipatenggang, Cicarulang, Galuh, Parakan,
Pageragung, Cikidang, Tegallaja, Panjalu, dan Cihaurbeuti.
LIMBANGAN
Menurut kepercayaan orang Limbangan sebelum
Islam, Nyi Pohaci adalah Dewa pelndung padi. Menurut cerita rakyat, Nyi Pohaci berasal
dari airmata Dewa Anta yang kemudian menjadi telur yang dipersembahkan kepada
gurudan kemudian menetas menjadi anak perempuan yang cantik jelita. Sampai
sekarang, pada sebagian masyarakat, masih ada yang percaya kepada Nyi Pohaci
sehingga masih mengadakan ritual penghormatan dari mulai menanam sampai
menuai padi.
Selain itu, masyarakat Limbangan sebelum mengenal Islam mempercayai makhluk
halus, mempercayai bahwa benda-benda tertentu memiliki kekuatan. Untuk
menghormati makhluk halus dan benda yang memiliki kekuatan sering diadakan
upacara khusus. Upacara itu dilakukan agar makhluk ataupun benda-benda yang
memilki kekuatan mendatangkan berkah dan tidak menatangkan malapetaka. Sampai
sekarang, tradisi tersebut masih dilakukan oleh sebagian kecil masyarakat
Limbangan. Untuk menangkal malapetaka dan untuk melindungi kampung diadakan
penanaman kepala kambing ditengan perkampungan.
Dari uraian diatas, diketahui ajaran-ajaran Hindu dan kepercayaan kepada
roh-roh pernah menjadi pegangan masyarakat Limbanagn. Setelah Islam
diperkenalkan, ajaran Hindu dan kepercayaan yang diwariskan dari nenek oyang
sedikit demi sedikit dapat dihilangkan. Meskipun mayoritas masyarakat Limbanann
sudah memeluk agama Islam tetapi tidak semua unsur atau pengaruh ajaran-ajaran
nenek moyang lenyap. Sampai sekarang masih ada sebagian kecil masyarakat
melakukan tradisi upacara yang biasa dilakukan oleh masyarakat Limbangan
sebelum Islam.
Adipati
Liman Senjaya Kusumah
Adipati Liman Senjaya Kusumah adalah ulama dan penyebar ajaran islam periode
awal di Limbangan. Dia mengajarkan ajaran Islam di keraton dan menyunat orang
yang masuk Islam. Karena keluwesan dalam memimpin pemerintahan maupun sebagi
tokoh agama yang mumpuni, akhirnya banyak rakyat bahkan para pejabat kerajaan
yang tertarik dan akhirnya memeluk agama Islam.
Adipati Liman Senjaya Kusumah diperkirakan lahir pada tahun 1510. Angka tahun
itu diperkirakan berdasarkan perhitungan berikut.Pertama, Adipati Liman Senjaya
Kusumah pernah membantu Kean Santang (1425-1550) dan pernah menghadap Sunan
Gunun Jati (1448-1568) untuk mendapat penghormatana atas jasa-jasanya dalam
penyebaran agama Islam. Kedua, tahun lahir seseorang diperkirakan secara
umum dengan selisih dua puluh tahun antara satu generasi yang satu dengan yang
lainnya demikian juga tahun kelahiran Adipati Liman Senjaya Kusumah dapat
diperkitakan dari tahun kelahiran Sunan Rumenggong (1450), lalu dari kelahiran
Nyai Putri Buniwangi (1470), kemudian kelahiran Prabu Hande Limansanjaya
(1490), maka kelahiran Adipati Liman Senjaya Kusumah dapat diperkirakan
tahun1510. Jika angka tahun kelahiran ini dipegang maka ketika Sunan Cipancar
menerima keris dari Kian Santang, dia sudah berusia 30 tahun sedangkan Kean
Santang berusia 110 tahun. Peristiwa penyerahan keris dengan lafad Laa Iqrohaa
fiddiin dari Kean Santang kepada Adipati Liman Senjaya kusumah pada tahun 1540.
Pada usia 30 tahun, dia pantas menjadi pembela agama Islam. Demikian pula dia
menghadap Sunan Gunung Jati, terjadi pada tahun sebelum Sunan Gunung Jati wafat
(1568), katakanlah tahun 1560. Pada tahun 1560 Sunan Cipancar berusia 50 tahun.
Kiraya wajar pula pada usia 50 tahun Sunan Cipancar sudah menjadi ulama
cukup besar sehingga tergolong salah seorang pemimpin Islam yang di undang pada
peremuan terbatas yang penting yang diadakan oleh Sunan Gunung Jati.
Dakwah Adipati Liman Senjaya Kusumah
Untuk
mengajak orang memeluk agama Islam dan untuk mengambil simpatik masyarakat,
Adipati Liman Senjaya Kususmah juga selalu menunjukkan akhlak yang baik dan
selalu melakukan silaturrahmi. Dia selalu
berupaya bertindak adil dan bijaksana meskipun sebagai penguasa dapat berbuat
apa saja. Dalam mengatasi satu persoalan negara pun, dia selalu
mengundang tokoh-tokoh agama Islam, para pendeta dan tokoh-tokoh masyarakat
lainya untuk diajak musyawarah dan diminai pendapatnya. Dengan kebijaksanaan
ini pula secara tidak langsung telah menarik masyarakat yang belum memeluk
Islam tertarik pada agama Islam.
Strategi yang dilakukan oleh Adipati Liman Senjaya Kusumah untuk menarik
simpatik masyarakat supaya memeluk agama Islam adalah mendatangi rumah dari
pintu ke pintu. Dia senantiasa bersikap ramah dan lemah lembut tapi bukan
berarti dia tidak bisa tegas bila diperlukan. Oleh karena itu dia menjadi
pemmpin yang dihormati dan disegani.
CANGKUANG
Penyebaran Islam di Cangkuang, Leles Garut dilakukan oleh Arif Muhammad dan
temen-temannya. Arif Muhammad berdakwah dengan arif dan bijaksana sehingga
secara berangsur-angsur masyarakat setempat berpindah keyakinan dari Hindu ke
Islam meskipun sebagian tradisi Hindu masih terus dilaksanakan seperti hari
Rabu menjadi hari besar dan tradisi ini berlanjut sampai sekarang.
PERKEMBANGAN
ISLAM DI MAJALENGKA
Sekitar abad ke-14 pada masa pemerintahan Ratu Simbarkencana, agama Islam mulai
menyebar ke Majalengka yang dibawa oleh santri Cirebon. Ranggi Mantri atau Suan
Parung Gangsa/Pucuk Umun Talaga ditaklukan oleh Cirebon pada tahun 1530, dan
dia pun menjadi pemeluk Islam dan menjadi bawahan Cirebon.
Proses
Penyebaran Islam
Daerah-daerah yang masuk daerah Kesultanan
Cirebon, dan telah semuanya memeluk agama Islam ialah Pemerintah Talaga, Maja,
dan Majalengka. Penyebaran agama Islam di Majalengka terutama didahului dengan
masuknya para bupati kepada agama itu. Kemudian dibantu oleh penyebar-penyebar
lain diantaranya Dalem Sukahurang atau Syekh Abdul Jalil dan Dalem Panungtung
menyebarkan agama Islam di Maja; Pangeran Suwarga di Talaga; Pangeran Muhammad
dan Siti Armilah di Sindangkasih dan Sunan Rachmat di Bantarujeg.
Di dalam buku ini tidak hanya memberitahukan tentang penyebaran islam di
daerah galuh saja tetapi juga memberitahukan proses kedatangan islam ke galuh,
tokoh-tokoh penyebaran agama islam di galuh, dan juga peristiwa-peristiwa yang
terjadi di galuh. Dimana dalam buku ini menambah wawasan dan pengetahuan
sejarah yang lebih luas lagi pada diri kita atau pada pembaca. Buku ini patut
diacungi jempol karena berkat buku ini, banyak pendapat dari masyarakat atau si
pembaca yang mengakui bahwa buku ini sangat lah berharga dalam sejarah karena
menambah wawasan seseorang dalam sejarah sehingga pembaca dapat mengetahui
tentang sejarah penyebaran agama islam di daerah galuh. Informasi ini pembelajaran
dari buku yang ditulis oleh Apipudin itu. Dimana berkat buku Apipudin ini
seseorang atau pembaca ini dari tidak tahu tentang sejarah penyebara agama
islam di galuh kini mereka menjadi tahu tentang peristiwa-peristiwa di galuh. Oleh
karena itu, buku ini juga patut dijadikan Mega Best Seller. Apa lagi diberikan CD hal-hal di galuh yang membuat kita menjadi lebih ingin mengetahui tentang
kerajaan di galuh ini,
Meski penulis tidak membuat semua isi menjadi bentuk kalimat paragraf, tapi ada
yang dijadikan beberapa poin, maka dari itu justru lebih mudah bagi si pembaca
untuk memahami isi dari cerita tersebut, dan mudah dicerna. Seluruh
peristiwa sejarah di galuh yang
diceritakan dalam buku ini merupakan hal yang perlu diperhatikan oleh si
pembaca, karena di dalamnya memuat pengetahuan tentang sejarah penyebaran agama
islam di galuh sehingga membuat wawasan yang lebih luas lagi si pembaca .
Dengan demikian, pembaca dapat mengetahui perkembangan islam di galuh, proses
penyebaran di galuh dan tokoh siapa saja yang terkait dalam sejarah di kerajaa
galuh ini. Maka dari itu, buku ini sangat cocok sekali bagi seseorang atau
pembaca yang kurang mengetahui tentang sejarahnya islam di galuh.
Kelebihan lain dari buku ini yaitu di mana penulis juga memberikan kata yang
penuh mutiara, selain itu juga terdapat pernyataan yang nyata yang bisa membuat
si pembaca memahami isi dari buku ini. Jadi, pembaca tidak merasa bosan kala
membaca buku ini. Penulis juga memberikan arahan kepada pembaca, apa yang harus
pembaca lakukan setelah memahami isi dari buku ini, setelah memahami satu per
satu tentang sejarah di kerajaan galuh yang telah dibaca. Dengan itu, maka
pembaca lebih mudah menerapkan dan memahami isi dan makna sejarah dari buku
ini.
Namun, di sisi kekurangan
pada buku ini, penulis kurang menceritakan faktor-faktor apa saja yang membuat
penganut agama hindu lebih sedikit dibandingkan penganut agama islam di galuh. Penulis hanya menuliskan tetang proses dan
perkembangan agama islam digaluh serta tokoh-tokoh penyebarannya. Jadi, kita kurang tahu apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi penganut agama hindu lebih sedikit
dibandingkan penganut agama islam di galuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar